Sabtu, Mei 17, 2008

Kami Ingin Menangis Lagi...

Bukan karena kekalahan yang pasti, tapi karena sebuah bentuk perjuangan
Perjuangan yang menyentuh, dan bentuk dukungan yang menggebu
Pilunya kekalahan serasa cuma angin lalu, bahana gemuruh tepukan mengiringi sang juara kedua
Piala tidak direbut bukan masalah besar
Kebanggaan sudah ada lewat perjuangan keras
Tapi banyak kerinduan lebih atas sebuah prestasi
Banyak piala dan emas
seperti yang dipersembahkan banyak anak bangsa di masa lalu
Kami ingin berteriak lantang lagi, menyorakkan kemenangan
Kami ingin bergembira atas keunggulan
Kami ingin menangis terharu lagi mendengar lantunan Indonesia Raya membawa Merah Putih ke puncak tertinggi

Kamis, Mei 08, 2008

Bakti Terakhir di Aleu

Matahari belum jatuh, malam belum tiba. Tidak ada desir angin, tidak ada suara kecuali hutan yang bersahut-sahutan dengan penduduknya. Sepi, lengang, seperti pertanda mati atau ketenangan lain yang dibawa waktu. Deru nafas pun tidak terdengar dibalik banyak sorot mata awas dan menanti sesuatu. Senapan serbu tanpa sangkur dan baret merah serta hijau. Bukan kecemasan yang terpatri jelas di wajah-wajah lelah itu, hanya menanti dan menunggu, menunggu, menunggu.
Bukan materi yang akan mereka rengkuh setelah ini atau juga surga. Mereka aka pergi, itu pasti. Pergi dari tanah Timor ini atau sekalian pergi dari dunia ini. Itu bukan ketakutan atau apa, hanya sebuah penantian. Detik dan detik yang seolah-olah berlari cepat tapi terkesan lambat. Ambigu, bersiap menanti sesuatu yang mugkin, untuk terakhir kali.
Di sebuah dinding Ramdhoni bersiap, menatap ke barat daya. Di sebelahnya Surat juga bersiap, Abidin Oman, dan aku. Kostrad-Kostrad itu berda berapa ratus meter di depan. Sedikit dari kami, dan pasti banyak yang akan kamu hadapi. Aku tidak mengerti harus apa, perintah adalah menunggu. Tapi menunggu adalah seperti ajal. Pergi berarti desersi, tapi mugkinkah itu lebih baik dari mati?
Mati dan kemudian jadi pahlawan mungkin, itu yang semua prajurit bodoh ini mau termasuk aku. Allison Haniggan bilang seperti itu tadi, mata nanarnya membayangkan pilihan mati yang aku buat. Mematuhi perintah hirarkis yang terkadang membahayakan nyawa. Tapi mereka semua tenang, tidak ada risan cemas tertulis di wajah mereka. Mereka mungkin akan mati beberapa saat lagi, mati di tanah yang baru beberapa saat menjadi tanah air mereka. Apakah itu mulia atau bodoh? Mati di tanah ini?
Itu perbedaan kami dengan banyak orang indonesia lainnya, rela mati yang demi sesuatu yang aneh. Bentuk sebuah rasa cinta tanah air yang besar, bukan kepada para jenderal, presiden atau rakyat. Tapi kepada bangsa ini, bangsa besar yang tidak pernah memberikan apa-apa pada kami kecuali gaji yang tidak seberapa. Kami tidak pernah pikirkan itu, pikirkan apa saja yang kami dapat dari bangsa ini, tapi apa yang telah kami berikan. Kami bisa berikan bakti, bakti kepada ibu pertiwi. Walaupun selalu teringat semua hal tentang keluarga yang mencintai dan kehidupan yang lebih baik selain seragam loreng ini. Kami tidak pilih mati, kami pilih berbakti.
Ledakan besar terdengar dari sisi barat daya jauh. Fretilin mendekat, aku bersiap menyongsong mereka. Mereka pasti mengendap dan riuh setelah ledakan. Kontak senjata dimulai, musuh terlihat. Suaranya sangat ramai, sekitar 40an orang lebih. Satu persatu terlihat, peluru orang Kostrad itu dengan tepat mengenai mereka. Fretilin-fretilin itu datang lebih banyak lagi, orang-orang Kostrad itu mulai tertembak. Perimeter pun mundur. Mereka mulai memakai mortir, mereka kira kami banyak. Aleu mulai dibombardir. Sebuah mortar telak jatuh di tengah lapangan, merusak tiang bendera dan menerbangkan sang saka merah putih, merusaknya dan membuatnya melayang-layang.
Abidin Oman berlari menyongsong bendera itu, gegabah, tapi dengan tekad agar merah putih tidak menyentuh tanah. Kami mundur meberikan perlindungan. Tapi peluru Fretilin lebih cepat dan bersarang elok di punggungnya. Abidin Oman gugur, merah putih tidak menyentuh tanah. Aku berlari ke jasad Abidin Oman, mawas, tapi mereka terlalu banyak dan menyebar. Aku tertembak, betis kiri ini terasa sangat sakit. Aku memeluk merah putih. Ramdhoni dan Surat mudur perlahan ingin menolongku. Aku merangkak menuju ke sebuah gundukan. Ramdhoni tertembak telak di matanya, Surat menoleh dan tak lama dadanya bersarang peluru. Kematian menjemput mereka, dan sebentar lagi dia akan membawaku serta. Aku mencoba mencari sandaran, meletakkan merah putih di dada. Aku menembak setepat mungkin, banyak yang aku bunuh. Namun amunisiku habis, dua kali pelatuk aku tarik, dan tidak ada bunyi keluar.
Aku melempar senapan serbu itu. Terdengar lirih suara pasukan Fretilin mendekat. Aku mendekap erat merah putih, aku tarik keluar foto Kania dari saku dadak. Menatap indah wajah orang yang memikatku itu, walau akhirnya dia ternyata lebih menganggap aku kakaknya. Sejenak semuanya berseliweran. Masa kecil ku yang tidak begitu baik, Jendral Sigit, bu Lestari, Kania dan Mbo' Tum. Ayahku yang juga mati berbakti. Seperti sebuah pesan padanya, aku juga mati berbakti ayah. Peluru itu menembus dahi-ku, tidak terasa apa-apa lagi setelah itu.