Jumat, Agustus 22, 2008

Bangunkan Aku Ketika Matahari Yang Terbit Esok Bersinar

Benarkah semua? Waktu, masa dan perputaran aliran? Apakah semuanya sama seperti yang telah kita bicarakan bertahun-tahun sebelum ini? Atau semuanya salah? Hal-hal yang ingin kita saksikan hanya tinggal mimpi yang perlahan terbang bersama ragamu yang mengelu?
Tapi semalam jemari-jemari tanganmu masih kugenggam erat di antara dingin dan pekatnya kaliurang. Menggapai alam yang terawangkan hari kita lebih dalam dan lebih dalam lagi. Ketika kau berteriak manja bersama gemuruh suara kereta api Lempuyangan.
Malam selalu hentikan nafas kita buat lebih berseru cinta berdua. Bersumpah aneh di depan beringin kembar dan berharap tak ada asa yang menggayuti jejak lagkah kaki kita. Saat kudendangkan lagu John Mayer dan kau menatapku dengan dua matamu yang lebih luas daripada cakrawala.
Memberikan ku beribu senyum yang lebih dashyat dari berjuta kata yang dapat kau berikan padaku. Berikan ku juga, seribu bahasa sayang yang tidak perlu dimunafikkan dengan materi-materi yang dapat habiskan uang kita.
Masihkah suaramu semerdu itu? Semerdu dendang gitarku yang memetik senar dan memainkan lagu lama milik Petula Clark. Atau aku mesti mendekapmu dalam, hingga kau tertidur nyenyak di antara kedua lengan capungku?
Ketika kau terbangun dan memberikan lagi-lagi senyum hangat sebagai energi untuk berjalan. Ketika kau memanggil namaku dengan sejuta rasa yang belum pernah kudapatkan pada hawa manapun.
Apa ini cuma mimpi? Atau nikmat sesaat yang bisa direngkuh seseorang yang telah kadung tidak percaya akan adanya cinta?
Atau ini selamanya? Selamanya sampai sesuatu yang aneh kembali memisahkan kita menjadi dua yang berbeda. Mesti kita adalah dua yang berbeda sejak awal. Tapi kita begitu sama, dalam cinta.
Sayang, bila ini adalah mimpi, biarkan aku terbangun sendiri sampai aku bosan dengan mimpi indah ini. Bila ini nyata, bangunkan aku ketika matahari yang terbit esok bersinar.

Selasa, Agustus 19, 2008

Sebuah Kehilangan (19 November 2006)

terawang malam dalam keheningan, dalam gumaman waktu ke depan
berbisik pelan antara sela hari yang mendingin
itu adalah malam ketika kedamaian belum juga terasa
seketika kabar tiba, tentang jiwa yang mesti pergi
di sebelah pulau ini dia menghembuskan nafas
dalam kerentaan tubuh
dalam ketuaan yang nyata
dia nikmati harinya dengan indah
tetap tersenyum walau semuanya mengacuhkan dia
acuh dengan sayang yang pantas
memilih berada jauh dari putra dan cucu-cucunya
serta aku sebagai anak dari cucunya
dia selalu bingung mebedakan aku dan kakakku
tapi dia tetap ingat pada nama, "Bagus"
dia jarang tersenyum
hanya berada dalam hari-hari tuan yang sepertinya sangat melelahkan
dia tidak pernah mengeluh
tidak pernah berkesah
dia tampak sangat sehat
dia bisa hidup seribu tahun lagi!
tapi hari ada waktunya
di singkatnya waktu, dia telah hidup lama
dia itu konservatif
dia tidak pernah sekolah
tapi dia memberikan sayang dalam hari-hari kami dan kami tidak akan pernah menyadarinya
akhirnya dia mengambil nafas terakhir
dia pergi
dia menyatakan kalau selamanya pun harus berakhir
dan kami baru merasa kehilangan saat dia tidak ada
tuhan
beri tempat terbaik baginya
beri pahala terindah bagi semua kebaikannya
beri segala ampunan bagi kesalahannya
dia milik kami yang berharga
dan pada ketentuanmu
dia harus pergi
dan
dia pergi
dengan senyum.....

Akhirnya saya sadar kalau tiap detik yang tersia adalah mendekati pada kematian. Tiap udara yang kita tarik adalah proses pendekatan pada ajal yang sudah menari-nari di depan mata telanjang kita. Saya sesekali pikir kalau saya pasti bakal hidup sangat lama lagi, karena saya masih muda. Tapi fakta menyajikan kalau masa muda saya penuh kenelangsaan. Ah, lagi-lagi tentang hawa, bosan. Tapi selalu terngiang. Ada banyak hawa dan semuanya memberikan keindahan serta luka di dalam tubuh saya yang telah renta, walau masih kokoh. Sudahlah, tai kucing semuanya, saya sudah bosan dengan masalah hawa.
Bukannya mau mempersingkat tulisan, tapi saya mau langsung menguraikan substansinya. Ayah saya pernah berkata bijak, perempuan itu dicintai karena apa yang ia miliki sedangkan pria dicintai karena apa yang ia janjikan. Untuk sekarang itu masuk akal.

Kamis, Agustus 14, 2008

Cinta itu datang dalam bahasa yang aneh tapi cukup lugas untuk kita mengerti. Cinta itu tidak pernah mengetuk pintu atau menekan bel di depan rumah. Cinta itu selalu tersenyum setiap saat, bahkan di saat kita mengingkari cinta. Cinta itu adalah sejuta tawa. Sejuta warna-warni yang mengukir indah di lubuk haribaan perasaan kita. Cinta itu semerdu senandung lagu yang selalu menggaung rendah di telinga kita. Cinta itu semanis banyak gula-gula yang membasahi mulut kita. Cinta itu adalah ribuan hal nenyenangkan yang indera kita tidak mampu untuk mengapresiasikannya.
Tapi jangan pernah lupa, kalau cinta itu adalah air mata. Cinta adalah banyak perasaan gundah yang menghantui kita di kala curiga datang. Cinta adalah banyak kesedihan yang menggayuti seluruh permukaan tubuh kita dengan luka yang tidak mampu disembuhkan dengan obat terbaik sekalipun. Cinta adalah perih, cinta adalah pedih.