Rabu, Januari 14, 2009

Tuhan Tidak Akan Tinggal Diam







Bertanya di antara reruntuhan dan wajah-wajah pilu
Kemana perginya Tuhan?
desir abu menerangi malam dengan cahaya
bukan bintang yang menyejukkan
atau bulan yang bermartabat
atau juga bukan kelam malam yang menyelimuti
tapi kematian

Bertanya di antara genangan darah dan potongan tubuh yang berserakan
Kemana perginya Tuhan?
letih, karena terus berlari
dari apa?
dari banyaknya hujaman maut?
atau dari kenyataan, mati atau cacat seumur hidup
tidak memiliki tameng apa-apa
jelas terbuka

Bau amis
darah tergenang lagi
gelegar lagi-lagi membahana
teriakan lagi-lgi mengiris
jerit ketakutan dan takut mati
kemana ayah?
kemana ibu?

Mengucapkan keagungan Tuhan
mencoba berlindung dibalik do'a dan harapan
semoga malam ini akhirnya
atau ambil saja nyawa kami
daripada hidup di bawah ketakutan
di bawah kesedihan akan kehilangan segalanya
bukan harta
tapi anak
ibu
semua yang disayangi
menjaga kepercayaan agar tidak luntur

Dibalik setia deru setan di udara dan hantaman bom kepada gedung-gedung
mereka bertanya
kemana perginya Tuhan?
karena mereka yakin, Tuhan sedang mempersiapkan serangan balasan untuk mereka
percayalah
percaya kepada Tuhan dan orang-orang yang masih mau peduli

Senin, Januari 05, 2009

Gaza

Gaza kembali panas. Israel merangsek masuk dengan biadab, lagi. Sama seperti saat mereka dengan pengecutnya menganeksasi Gaza dari Mesir. Beralibi Hamas, mereka menjatuhkan berton-ton peledak di atas pemukiman padat. Untuk menghancurkan tentu saja, menghancurkan Hamas dan roket-roketnya. Hanya butuh alasan aneh tentang pelanggaran gencatan senjata. Lalu demi membunuh 4 atau 5 orang Hamas, mereka turut membantai 400 lainnya.

Geram dan benci, tentu saja. Bukan karena latar belakang agama, tapi sebuah rasa empati kemanusiaan. Melepuh sedih di antara gambar bocah-bocah yang meraung-raung kesakitan karena luka besar menganga di punggungnya. Wanita-wanita yang berteriak pilu mengingat keluarganya yang mati. Dan mayat-mayat yang mungkin tidak pernah tahu kalau akan ada bom jatuh di atas kepala mereka.

Bangga? Bangga dengan peperangan melawan anak-anak? Dengan beribu pucuk senapan mutakhir melawan lemparan batu dan serangan bom sporadis. Lucu sekali cara berpikir para Zionis itu. Merasa roket-roket Hamas sudah begitu berbahaya dan memilih untuk berperang besar-besaran melawan penduduk sipil.

Lalu, kemana larinya solidaritas? Bukan cuma merutuki, bukan hanya mengecam, tapi tindakan nyata. Roosevelt pernah mengeluh di depan kabinetnya sebelum Pearl Harbour dibombardir. Tentang bagaimana Churcill dan Stalin mendesak Amerika untuk memerangi Hitler. Bukan hanya mengirim makanan, obat dan selimut. Tapi peluru, bahan peledak dan tentara untuk berperang. Itu yang dikeluhkan berjuta orang yang begitu peduli dengan kemanusiaan, bukan hanya Islam. Tapi semuanya yang sudah muak dengan peperangan tidak sepadan ini. Kemana mulut Amerika Serikat sekarang? Bungkam dan malah menyalahkan Hamas. Obama yang jadi harapanpun memilih diam seribu bahasa. Inggris? Negara sakti yang selalu bilang kalau matahari tidak akan pernah tenggelam di lautannya. Bangsa yang dengan gratis memberikan tanah Palestina kepada Israel dan memulai semua bencana ini. Gordon Brown cuma bilang, kedamaian di Timur Tengah akan sangat sulit dicapai. Kemana PBB? Yang mestinya bereaksi keras, dan bersidang darurat untuk membahas pasal-pasal apa saja yang sudah dilanggar Israel. Lalu dengan segera mengeluarkan resolusi. Kirim pasukan multinasional, perang terbuka dengan Israel.

Gema takbir sembari menenteng jenazah seorang bocah yang ditutupi kain hijau telah menggugah ratusan orang Indonesia pemberani yang ingin turut serta bertempur. Atas nama agama memang, tapi sudah cukup merefleksikan bagaimana titik kulminasi dari sebuah kebencian. Walaupun sedikit naïf untuk bisa melewati deretan kendaraan lapis baja yang berjejer mengepung Gaza.

Saya turut menangis, setiap tengah malam dan pagi hari. Diiringi lagu-lagu yang juga menambah syahdu gambar visual. Dan berdo'a di sela hari-hari dan diri saya yang sangat tidak religius, do'a bagi mereka yang gugur. Mari kita ikut prihatin dan berpikir cara tersantun untuk berempati.

Jumat, Januari 02, 2009

Berhenti Berusaha II

Senja kali ini basah
Suasana dingin malah menambah kelu,
Bukan sejuk, malah tambah kelu
Merintih sepi, berkawan sendiri
Lagi-lagi tentang dia
Tidak pernah pergi, selalu tinggal
Tidak mau pergi, terus tinggal
Tidak pernah pergi, tetap tinggal
Terbang bersama segalanya tentang, setia
Setia tidak mampu terbang
Sekedar perasaan tertarik atau sungguhan
Selalu saja, setiap saat
Sekitar fajar dan ketika terik
Mungkin hati selalu meratap
Mungkin kedewasaan adalah gerbang
Mungkin air mata ini tidak berbentuk
Mungkin, kematian bisa lebih baik
Putus asa?
Realistis untuk tidak begitu optimis, tapi apatis juga bukan sebuah bentuk pertahanan diri?
Selesai sudah,
Siap untuk menjadi presiden tanpa ibu negara

Kamis, Januari 01, 2009

Berhenti Berusaha

Bukan karena malam aku berhenti berjalan, bukan karena letih aku berdiam
Aku tetap ingin terjaga selama bulan hanya untuk memandangi raut wajahmu ketika tidur
Hening
Lelah
Tenang
Suara nafas teratur yang seperti menikmati lamunan mimpi yang hangat
Bukan karena bosan aku pergi, bukan karena hampa aku beranjak
Aku akan tetap setia menatapmu, meski hanya hirau yang aku dapati
Senyum
Gelisah
Lucu
Tingkah jenaka yang selalu ingin tahu tentang apapun
Membuat hari-hari setelahnya terasa menyenangkan
Aku selalu menyerah untuk itu, menyerah di atas segala kedigdayaan
Bukan karena asa aku mengelak, bukan karena susah aku menghindar
Selamanya bayangan dan sisa-sisa kasih masih tergenang, selamanya akan selalu tertunduk
Hilang
Resah
Gundah
Kau kah itu?
Yang berhasil menggawangi ku?
Kenapa kau lalu pergi setelah itu?
Ketika surga seperti terasa begitu dekat dan dunia selalu lebih baik daripada musim semi
Kau tetap pergi
Karena kalah aku berhenti, dan karena sadar semua aku diakhiri