Sabtu, November 15, 2008

Angel's Wings

"I know that God must love me cause, he sent you to me on angel's wings"

Itu adalah bagian lirik sebuah lagu milik boyband asal Irlandia, Westlife. Boyband yang populer di masa saya SMP dulu. Ya, entah kenapa tiba-tiba teringat lagu itu ketika melihat air mata mengalir di acara Idola Cilik. Beberapa dari mereka berkata ingin sekali membahagiakan orang tua mereka, seperti kebanyakan atau hampir keseluruhan dari kita saya pikir.
Tapi bagaimana bila kita bisa membahagiakan atau membuat orang kita bangga, apa mereka lantas tidak menyayangi kita?
Teringat kepada sebuah hari di kelas kursus bahasa Inggris, kelas yang saya hadiri untuk mengisi waktu senggang. Seorang teman mengungkapkan kalau dia sangat ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Lalu sang Tutor yang bernama, Barry Dickinson mengeluarkan sebuah statement yang masih terus saya ingat sampai sekarang.
"Your parents will still proud of you even you aren't make them proud."
Saya setuju dengan itu, orang tua kita pasti sudah bahagia ketika kita lahir ke dunia. Dan membuat mereka bangga itu hanya satu dari tujuan kita. Terkadang, saya tidak bersyukur karena saya memiliki ayah dan ibu yang begitu mencintai saya. Saya sering berbohong dan kadang membuat mereka marah. Padahal banyak orang yang tidak memliki keduanya atau salah satunya. Padahal tanpa mereka berdua mungkin saya tidak akan pernah ada.
Minggu malam beberapa bulan lalu di Stasiun Gambir, saya menunggu kereta berangkat. Setelah mengucapkan salam perpisahan, kedua orang tua pulang. Saya membaca buku karya Ahmad Thohari, tiba-tiba ingin melihat ke bawah dan melihat orang tua saya berjalan bergandengan. Tanpa diperinta dan tanpa saya sadari, air mata saya menetes. Tidak terisak-isak, hanya saja aor mata itu tetap jatuh. Sedih yang datang secara spontan, tidak tahu alasannya. Setelah mereka tidak terlihat saya menyeka air mata, seorang pria di sebelah saya terlihat bingung. Saya mengangkat buku sebagai tanda kalau saya sedih membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Melankolis sekali.
Saya bersyukur masih mempunyai ibu yang cerewet dan ayah yang masih berjiwa muda dan terkadang menyebalkan. Di saat 3 besar Indonesian Idol, waktu zamannya Ihsan. Ayah saya mengirim sms.

"Mari kita dukung Ihsan sebagai sesama orang Medan!"

Saya balas,

"Maaf pa, saya mendukung Ghea."

Lalu ayah saya membalas lagi

"Owh, ya udh berarti kiriman bulan ini dikurangin setengah"

Dan akhirnya saya menyerah dan membalas

"Ayo kita dukung Ihsan bersama-sama pa!"

Disfunctional me and my dad, hehehe

Rabu, November 05, 2008

Sangat Iri Dengan Pemilu di Amerika Serikat

Setelah menyaksikan kejumawaan gol dari Christian Panucci ke gawang Petr Cech dini hari tadi, saya tertidur pulas. Hampir seperti beruang yang berhibernasi gila-gilaan dan terbangun pukul 11 keesokan harinya. Menghidupkan televisi dan mendapati sebuaha acar gosip tidak penting di sebuah saluran. Mengambil remote dan mengganti-ganti saluran. Sebuah stasiun tv menyadarkan saya kalau hari ini Pemilu di Amerika Serikat sudah mendapatkan pemenangnya.
Ya, semua sudah tahu dan mungkin sudah menduga, Barrack Obama menang, menang telak bahkan. Di stasiun televisi itu saya juga melihat senator John McCain berbicara di podium, di depan para pendukungnya di Phoenix, bersama Istri dan Wapres Sarah Palin dan suaminya.
Saya langsung terdiam, sebuah pidato kekalahan yang sangat menggugah. Sikap ksatria seorang veteran perang yang sangat terpuji, mengaku kalah. Pilot AL Amerika Serikat yang pernah hampir terbunuh akibat dipukuli oleh rakyat Hanoi itu menunjukkan kualitas lain seorang pemimpin. Tidak pernah terlontar dari pidatonya kata-kata oposisi, hanya ada kata-kata.
"Anda boleh bersedih malam ini, tapi ketika anda bangun esok hari, kita semua harus bersama-sama mendukung presiden terpilih kita, Barrack Obama."
Itu pesannya pada semua pendukungnya yang sempat bersorak mencemooh ketika nama Barrack Obama disebutkan.
Senator McCain dengan langkah bangga mundur dan melambai terakhir kali untuk para penggemarnya, itu luar biasa. Kualitas seorang pemimpin sebenarnya. Bukan merasa bisa, tapi bisa merasa.
Tidak lama setelah itu, gambar beralih ke Chigago. Pesta kemenangan sedang di gelar. Seorang pendeta memanjatkan do'a di atas podium untuk kebaikan seluruh bangsa. Seorang penyanyi muncul dan mengumandangkan lagu Stars Spangled Banner. Semua yang datang di sana, termasuk Oprah Winfrey di sana, terharu dan mendengarkan lagu kebangsaan mereka dengan syahdu. Suatu momen yang sangat mengiris, saat itu bukan pertandingan sepak bola atau pengalungan medali emas olimpiade. Tapi semua orang di sana mendengarkannya dengan syahdu.
Barrack Obama masuk bersama istri dan anak-anaknya. Dia melambai kepada seluruh orang di Grand Park. Dan tidak lama memulai pidato kemenangannya.
Saya lupa kata-kata pasnya, yang pasti, pidato seorang alumni Harvard Law School yang lulus dengan predikat Magna Cum-Laude itu membuat banyak orang berkaca-kaca. Dan saya yakini, merupakan pidato yang sangat baik dan bagus.
Bisakah hal itu teradi di Indonesia?
Ketika sebuah Pemilu yang sangat keras berakhir dengan sifat ksatria dari semua orang. Atau bisakah Indonesia memiliki para calon presiden yang sebegitu hebat dan dicintai pendukungnya. Saya yakin dengan sangat, bila McCain yang menang Pilpres AS, mereka juga akan memiliki presiden yang memang berkualitas.
Bisakah sebuah Pemilihan Umum menjadi ajang untuk membangkitkan nasionalisme bukan untuk kepentingan salah satu kandidat atau partai politik tertentu?
Amerika Serikat adalah negara yang kita cerca, sekuler dan hedon. Tapi tetap saja kualitas kebangsaan mereka lebih baik daripada negara kita yang beradab dan penuh budaya timur.
huh...