Senin, Januari 05, 2009

Gaza

Gaza kembali panas. Israel merangsek masuk dengan biadab, lagi. Sama seperti saat mereka dengan pengecutnya menganeksasi Gaza dari Mesir. Beralibi Hamas, mereka menjatuhkan berton-ton peledak di atas pemukiman padat. Untuk menghancurkan tentu saja, menghancurkan Hamas dan roket-roketnya. Hanya butuh alasan aneh tentang pelanggaran gencatan senjata. Lalu demi membunuh 4 atau 5 orang Hamas, mereka turut membantai 400 lainnya.

Geram dan benci, tentu saja. Bukan karena latar belakang agama, tapi sebuah rasa empati kemanusiaan. Melepuh sedih di antara gambar bocah-bocah yang meraung-raung kesakitan karena luka besar menganga di punggungnya. Wanita-wanita yang berteriak pilu mengingat keluarganya yang mati. Dan mayat-mayat yang mungkin tidak pernah tahu kalau akan ada bom jatuh di atas kepala mereka.

Bangga? Bangga dengan peperangan melawan anak-anak? Dengan beribu pucuk senapan mutakhir melawan lemparan batu dan serangan bom sporadis. Lucu sekali cara berpikir para Zionis itu. Merasa roket-roket Hamas sudah begitu berbahaya dan memilih untuk berperang besar-besaran melawan penduduk sipil.

Lalu, kemana larinya solidaritas? Bukan cuma merutuki, bukan hanya mengecam, tapi tindakan nyata. Roosevelt pernah mengeluh di depan kabinetnya sebelum Pearl Harbour dibombardir. Tentang bagaimana Churcill dan Stalin mendesak Amerika untuk memerangi Hitler. Bukan hanya mengirim makanan, obat dan selimut. Tapi peluru, bahan peledak dan tentara untuk berperang. Itu yang dikeluhkan berjuta orang yang begitu peduli dengan kemanusiaan, bukan hanya Islam. Tapi semuanya yang sudah muak dengan peperangan tidak sepadan ini. Kemana mulut Amerika Serikat sekarang? Bungkam dan malah menyalahkan Hamas. Obama yang jadi harapanpun memilih diam seribu bahasa. Inggris? Negara sakti yang selalu bilang kalau matahari tidak akan pernah tenggelam di lautannya. Bangsa yang dengan gratis memberikan tanah Palestina kepada Israel dan memulai semua bencana ini. Gordon Brown cuma bilang, kedamaian di Timur Tengah akan sangat sulit dicapai. Kemana PBB? Yang mestinya bereaksi keras, dan bersidang darurat untuk membahas pasal-pasal apa saja yang sudah dilanggar Israel. Lalu dengan segera mengeluarkan resolusi. Kirim pasukan multinasional, perang terbuka dengan Israel.

Gema takbir sembari menenteng jenazah seorang bocah yang ditutupi kain hijau telah menggugah ratusan orang Indonesia pemberani yang ingin turut serta bertempur. Atas nama agama memang, tapi sudah cukup merefleksikan bagaimana titik kulminasi dari sebuah kebencian. Walaupun sedikit naïf untuk bisa melewati deretan kendaraan lapis baja yang berjejer mengepung Gaza.

Saya turut menangis, setiap tengah malam dan pagi hari. Diiringi lagu-lagu yang juga menambah syahdu gambar visual. Dan berdo'a di sela hari-hari dan diri saya yang sangat tidak religius, do'a bagi mereka yang gugur. Mari kita ikut prihatin dan berpikir cara tersantun untuk berempati.

Tidak ada komentar: