Selasa, Oktober 14, 2008

Mencintai alam sebagai sebuah eksistensi?


"I was a cameraman fot Nightline fot six year, been freelance since '91. Do a lot of work for Greenpeace.", Nick Van Owen says.
"That must be interesting. What drew you there?", ask Ian Malcolm.
"Women. 'Bout eighty percentfemale in Greenpeace."
Itu sedikit percakapan dari film Jurassic Park seri kedua. Bagian percakapan ini bagi saya cukup menarik dibanding adegan dikejar-kejar T-Rex. Lucu juga mengetahui alasan seseorang menjadi sukarelawan bagi Greenpeace adalah wanita atau hal-hal konyol seperti, eksistensi, bukan murni karena benar-benar mencintai alamnya.
Saya jadi teringat cerita ayah saya, katika perwakilan dari Greenpeace bertemu dengan orang-orang yang bekerja di industri kelapa sawit. Menurut orang-orang yang begitu memahami dan mencintai alam itu, industri kelapa sawit adala penyumbang terbesar emisi rumah kaca. Di tengah hangat-hangatnya isu global warming, tentu saja itu sangat meresahkan. Tapi seorang rekan ayah saya dengan tenang menjawab. Kebetulan perwakilan Greenpeace tersebut adalah orang asing.
"Buat apa kita menjaga hutan buat orang asing (Amerika dan Eropa), padahal mereka sendiri tidak mau menjaga hutan mereka."
Ayah saya melanjutkan seketika perwakilan Greenpeace itu terdiam dan tidak berbicara panjang lebar lagi.
Saya tidak ingin membahas lebih banyak mengenai industri kelapa sawit, karena jelas saya akan berdiri di pihak industri, bukan melacurkan diri karena ingin mendapat dana yang besar, tapi hanya sekedar perasaan sadar kalau industri sawit mungkin tidak seburuk itu bila dibenahi. Saya bertanya-tanya, kenapa Greenpeace tidak mendatangi Freeport saja yang jelas merusak. Mungkin karena Freeport milik AS?
Seorang tutor saya yang berkerwarganegaraan AS bercerita bagaimana pemerintah AS dengan sukses menipu warganya dengan menebang habis hutan tapi menyisakan beberapa ratus meter hutan yang dekat dari pinggir jalan raya. Jadi bila kita melintas kita akan berpikir kalau hutannya masih lebat. Tapi bila kita lihat dari atas, akan terlihat jelas bagaimana tanah yang dulunya hutan menjadi gersang. Tapi tetap saja kita yang jadi tumbal akibat penggundulan.
Saya di sini bukan ingin menganggap Greenpeace atau organisasi pecinta alam lainnya hanyalah sebuah bentuk eksistensi belaka. Saya menghargai mereka yang sudah berusaha keras menjaga agar perusakan lingkungan tidak berlarut-larut, mungkin hanya caranya saja yang salah.
Dulu sekali, sewaktu saya mengikuti ospek mahasiwa baru di Universitas Riau tahun 2004. Seorang mahasiswa pecinta alam melakukan orasi agar mahasiwa baru mecintai alam dan bergabung dengan organisasi itu. Ketika dibuka sesi tanya jawab, seorang mahasiswi berjilbab dengan lugunya bertanya.
"Bang, kenapa pecinta alam koq merokok juga? Bukannya itu merusak alam?"
Sang orator pecinta alam cuma diam dan bingung menjawab apa.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

haha.

Unknown mengatakan...

Good good good......

Anonim mengatakan...

ok. I found an information here that i want to look for.

-- mengatakan...

Saya pernah disodorkan brosur greenpeace sekalian diajak bergabung *waktu itu posisi saya di gramedia sudirman* tp krn saya sdg buru2 jd saya agak sedikit mengacuhkan. Hehe